Hukum Newton Ketiga disambut Menunggang Badai, Barasuara
Malam itu, gue mengendarai motor gue seorang diri
menuju suatu lokasi. Kondisi jalanan cukup sepi, hanya ada tiga motor dan satu
mobil sejauh mata memandang.
Seperti biasa, gue mengendarai motor dengan
menggunakan headset untuk mendengarkan lagu. Saat itu lagu yang terputar adalah
Menunggang Badai milik Barasuara, terbesit lirik yang cukup
ngebuat otak gue mengembara entah kemana sementara mata dan tangan seperti
autopilot
“di dalammu dendam parah bersarang, perih mencekam, pedih bersulang, lara bersarang. Dalam peraduan dendammu melagu, dalam perasaan diammu memburu, dalam kesunyian gerammu bertalu”
Otak gue kembali ke masa-masa paling menyakitkan (di
hubungan yang sekarang), rasa terbohongi, rasa diabaikan dan tidak dianggap,
rasa diduakan dan dilupakan. Setiap conversation
entah chat atau kata yang terucap
terekam jelas dan itu berulang lagi bagai recorder
tape di otak gue. Gue menelan ludah dan menggertakan rahang, berusaha
mengatakan ke diri gue sendiri “I’m fine,
gue udah sembuh, gue udah memafkan dan move
on dari moment itu”
Nyatanya….
Hembusan angin menyadarkan gue, motor gue goyang
tersenggol angin, dan saat gue sadar dan menengok speedometer, gue mencapai kecepatan diatas 90km/jam, sekitar 92km/jam,
hampir mencapai top speed gue saat baru
beli motor ini, di tahun 2014 lalu yaitu 97km/jam, ya walaupun itu masih jauh
dibanding top speed menurut Wikipedia
yang katanya bisa 120km/jam. Tapi kan gue normal bawa di 50-70km/jam, 80km/jam
aja udah termasuk ngebut, jadi menyentuh 92km/jam bikin jiper juga.
Otomatis gue langsung menurunkan gas dan menghembuskan
nafas, menenangkan diri.
Disitu gue sadar satu hal, amarahmu bisa menghancurkanmu bahkan membunuhmu.
Kenapa gue bilang gitu?
Rasa marah yang kembali ke permukaan karena ternyata
itu belum sembuh ngebuat gue gak sadar memacu kecepatan motor gue sampe secepat
itu, intinya, saat lo marah, lo gak sadar.
Saat kita merasakan suatu emosi yang sangat besar hingga itu menguasai seluruh
pikiran kita, kita gak sadar dengan apa yang kita lakukan. Dan saat kita gak
sadar, kita bisa saja terbunuh secara fisik atau secara mental.
Honestly, gue masih mencari cara untuk berdamai,
ternyata memaafkan dan berdamai itu tidak semudah berjabat tangan, memeluk atau
mencium seseorang. Itu jauh lebih personal.
Jadi, kita bisa mencintai dan membenci seseorang
secara bersamaan, mencintai pribadi dan sikapnya, dan bisa membenci dan
mengutuk perbuatannya sewaktu-waktu. Karena seseorang pernah mengatakan, lawannya cinta bukanlah benci, lawannya
cinta adalah ignorance, saat lo meng-ignore
artinya elo gak peduli dan saat lo gak peduli, lo gak akan tersakiti.
Benci dan cinta adalah dua emosi yang beda tipis dan
selalu berdampingan, that’s why gue selalu
mengatakan love-hate relationship,
karena lo gak mungkin melulu tentang love,
pasti ada berantem kecil hingga besar yang membuat lo membenci sesuatu, tapi lo
berusaha mentoleransi itu sehingga hubungan kalian tetap bertahan. Menurunkan ego
untuk meredam kebencian dan tetap harmonis.
Dan itu juga yang membuat orang lain berkata, besarnya
kamu mencintai seseorang setimpal dengan rasa sakit yang akan kamu rasakan.
Hukum Newton ketiga:
gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris. Artinya jika ada benda A yang memberi gaya sebesar F pada benda B, maka benda B akan memberi gaya sebesar –F kepada benda A. F dan –F memiliki besar yang sama namun arahnya berbeda. Hukum ini juga terkenal sebagai hukum aksi-reaksi, dengan F disebut sebagai aksi dan –F adalah reaksinya.
Jadi jika kamu mencintai sebesar gunung Everest, kamu
juga harus siap tersakiti seperti ketiban gunung Everest. Jika kamu bahagia karena
merasakan keindahan danau toba, kamu juga harus siap tidak bisa bernafas
seperti di tenggelami di danau tersebut.
Terdengar simple,
tapi gak sesimple itu.
Sama seperti berdamai dengan situasi, meski itu sudah
jauh terlewat tapi masih segar di ingatan.
Komentar
Posting Komentar